Selasa, 13 Agustus 2013

Karya Schoemaker; Grand Hotel Preanger

Pengalamannya yang sangat luas selama 35 tahun sebagai seorang arsitek meninggalkan perpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan bangunan yang tersebar di berbagai kota Indonesia. Banyak sekali karya Schoemaker yang sampai sekarang menjadi “landmark” lingkungan kota-kota besar di Jawa.
Gaya desainnya selalu berubah. Tapi peruabahan yang mencolok terjadi setelah ia pulang dari Amerika pada th. 1918. Rupanya bentuk arsitektur modern di Amerika sangat mempengaruhinya. Terutama sekali adalah gaya dari Frank Lloyd Wright, arsitek Amerika yang terkenal pada saat itu. Hal ini bisa dilihat dari karya – karyanya seperti gedung Koloniale Bank di Surabaya dan Hotel Preanger di Bandung, dimana garis-garis dominan yang sejajar dengan tanah, serta detail-detail geometris kelihatan sangat dominan sekali, yang merupakan ciri khas Frank Lloyd Wright.
Grand Hotel Preanger (1870-1900)
Grand Hotel Preanger adalah hotel berbintang tiga berlokasi di Jalan Asia-Afrika atau sebelumnya bernama jalan vroeger Grote Postweg di Bandung Indonesia. Pada awalnya Hotel ini didirikan sebagai Hotel Thieme dengan arsitektur gaya kolonial pada akhir tahun 1800an, yaitu gaya klasik (met zuilen en een timpaan) dan dicat putih. Lalu hotel ini dinamakan Preanger karena berada di pegunungan dan perkebunan yang indah. Pada tahun 1925 bangunan ini diletakkan di bawah arahan seorang arsitek Ir. C.P. Wolff Schoemaker dengan gaya khusus, yang merupakan perpaduan gaya art deco dan gaya pribumi.
Hotel Preange di Bandung. Dirancang oleh Prof. Ir. C.P. Wolf Schoemaker pada t. 1930. Hasil desain hatel ini banyak terpengaruh olehdesain-desain Frank Llyod Wright dari Amerika.
Hotel ini dimodernisasi secara teratur, sementara tetap mempertahankan rincian art deco aslinya. Berada di sekitar sudut jalan Tamblongweg dulunya dan sekarang menjadi Jalan Tamblong adalah sayap jalan yang lebih modern pada tahun 1989. Meskipun dalam kualitas di seberang jalan terletak Hotel Savoy Homann Albert Aalbers, yang lebih terkenal.
Grand Hotel Preanger sekarang

Sumber : Handinoto, “STUDI PERBANDINGAN KARYA 3 ORANG ARSITEK BELANDA KELAHIRAN JAWA DI INDONESIA”

CHARLES PROSPER (C.P.) WOLF SCHOEMAKER


Schoemaker dilahirkan di Banyubiru, dekat Salatiga, Jateng pada th. 1882. Pendidikan sekolah menengahnya diselesaikan di Nijmegen (1897-1902). Antara tahun 1902 sampai th. 1905 ia memasuki akademi militer di Breda4. Setelah tamat dengan pangkat sebagai letnan, ia bekerja pada corp zeni angkatan darat kerajaan Belanda. Dia bekerja untuk membangun jalan kereta api dan jaringan telegraph di Selatan distrik Preanger Jabar, kemudian pada th. 1908-1910 ia dipekerjakan di Padang (Sumatra Barat) dan akhirnya pada tahun 1910-1911 ia ditempatkan dimarkas besar corps nya di Batavia. Pada tahun itu juga rupanya ia mengakhiri kariernya secara resmi di angkatan darat kerajaan Belanda.
Dari bulan oktober 1912 sampai Juni 1913, Schoemaker bekerja sebagai arsitek di bagian pekerjaan umum Gemeente Batavia. Pada saat itu ia merancang rumah sakit Gemeente Batavia, yang sekarang berkembang menjadi rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Setelah 9 bulan bekerja untuk Gemente Batavia, ia pindah ke kantor Moojen & Company. Disana ia juga bekerja selama 9 bulan dengan menangani berbagai perancangan bangunan seperti stasiun kereta api kecil, komplek bengkel kereta api di Madiun, menara air di Surabaya dan sebagainya.
Dari bulan Februari 1914, sampai Pebruari 1917, Schoemaker bekerja kembali di Departemen Pekerjaan Umum Gemeente Batavia, tapi kali ini ia berkedudukan sebagai direktur. Pekerjaan perancangan yang ditanganinya sangat luas mulai dari pasar, abatoir dengan fasilitas pendinginnya sampai perencanaan bagian kota Batavia secara umum.
Setelah itu Schoemaker pindah pekerjaan lagi sebagai kepala bagian teknik dari perusahaan besar Carl Schlieper & Company, yang bergerak dibidang alat-alat teknik dan permesinan. Perusahaan inilah yang mengirimnya untuk suatu studi perbandingan ke Eropa dan Amerika. Ia tinggal cukup lama di Amerika karena di Eropa pada saat yang bersamaan waktu itu terjadi Perang Dunia pertama. Di Amerika Schoemaker mengunjungi New York, Buffalo, Cleveland, Detroit, Chicago, Washington, Los Angeles, Long Beach, Sacramento, Santa Rosa, San Franssisco untuk mempelajari tata ruang kotanya, perencanaan transportasi dan arsitektur modern, serta teknologi konstruksi (Jessup, 1988:127). Pada bulan Mei 1918 ia baru kembali ke Batavia.
Setelah tiba di Hindia Belanda pada th. 1918, Schoemaker memilih Bandung sebagai tempat kerja, serta tempat tinggalnya. Waktu Sekolah Tinggi Teknik Bandung yang dirancang oleh Maclaine Pont dibuka th. 1921, ia mengajar sebagai dosen sejarah arsitektur disana dan pada th. 1924 Schoemaker diangkat sebagai profesor (guru besar) arsitektur. Gelar tersebut terus dipegangnya sampai th. 1941. Disamping sebagai guru besar Schoemaker juga mempunyai biro arsitek yang namanya sangat terkenal yaitu: “C.P. Schoemaker en Associate Architecten en Ingenieurs”. Ir, Sukarno (Presiden pertama R.I.) pernah bekerja sebagai juru gamba pada kantor Schoemaker di Bandung (Kunto, 1996:40). Ia meninggal pada th. 1949 dalam usia 67 tahun di Bandung. Jenasahnya juga dimakamkan di pemakaman umum Cikutra Bandung.
Diantara banyak karya Schoemaker bisa disebutkan antara lain:
1. Penjara Sukamiskin-Bandung th. 1919
2. Hotel Preanger – Bandung th. 1930

5. Mesjid Cipaganti – Bandung th. 1933

6. Gereja Santo Petrus – Bandung th. 1922

7. Villa Isola – Bandung th. 1933

Sumber : Handinoto, “STUDI PERBANDINGAN KARYA 3 ORANG ARSITEK BELANDA KELAHIRAN JAWA DI INDONESIA”

Sabtu, 30 Maret 2013

Kantor Toshiba (Office Premises, John Peet & Co)


·      Nama Bangunan Lama       : Kantor Toshiba
·      Nama Bangunan Baru        : Office Premises, John Peet & Co
·      Alamat                                : Jl.  Kali  Besar  Barat  No. 40,  Kel. Pekojan, Kec.
  Tambora, Jakarta Barat (Jakarta 11110)
·      Tahun dibangun                : 1920
·      Fungsi Awal                       : Kantor John Peet & Co.
·      Fungsi Sekarang                 : Kantor PT. Toshiba
·      Arsitektur                           : Bergaya Amsterdam School dan Art Deco
·      Arsitek                                : F.J.L. Ghijsels
·      Kondisi bangunan              : Cukup baik
·      Klasifikasi Pemugaran        : Golongan A

Panduan Pemugaran Bangunan
Analisis Historis
 
Sumber : http://masoye.multiply.com/
  • Ghijsels merancang bangunan ini untuk John Peet & Co. Office Premises  pada tahun 1919 dan kemudian pada tahun 1920 pembangunan diterapkan. Keberadaan bangunan ini membentuk lingkungan bersejarah di kawasan tersebut yang mempunyai daya tarik Pariwisata, khususnya nuansa Kota Tua.

Tahun 2013, Kantor Toshiba (Office Premises, John Peet & Co)
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013


Langgam / Style Bangunan
  • Berlanggam Art Deco dengan ciri khasnya elemen dekoratif geometris pada dinding eksteriornya.
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013
  • Dapat dilihat pada fasade Kantor PT. Toshiba yang dulunya merupakan John Peet & Co. Office Premises, pola garis-garis yang merupakan salah satu ciri Arsitektur Art Deco di Indonesia.
  
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013

  • Selain itu, bangunan ini bergaya Amsterdam School. Pada aliran Amsterdam School, tampak luar dan bagian dalam (interior) bangunan menjadi suatu kesatuan yang utuh, dapat dilihat pada kesamaan bentuk yang digunakan pada Kantor Toshiba.
Dalam bangunan Kantor PT. Toshiba
Sumber : http://mahandisyoanata.multiply.com/
  • Bangunan dari aliran Amsterdam School biasanya memakai bahan dasar yang berasal dari alam yaitu batu dan kayu. Serta dapat dilihat dari detail-detail elemen fasadenya.
 
 
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013
Kondisi Fisik
  • Bangunan ini masih sesuai dengan aslinya dan masih berfungsi sebagai Kantor, yaitu kantor Toshiba. Bangunan ini masih terawat, hanya ada kerusakan kecil/ringan pada facadenya (dilihat dari detailnya). Dengan warna dominan yang digunakan yaitu putih.
 
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013

Sumber :









CAGAR BUDAYA GOLONGAN A - KANTOR TOSHIBA

LINGKUNGAN CAGAR BUDAYA GOLONGAN II
Sumber : PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN, “GUIDELINES KOTA TUA”, 2007


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2013
·      Nama Bangunan Lama       : Kantor Toshiba
·      Nama Bangunan Baru        : Office Premises, John Peet & Co
·      Alamat                                : Jl.  Kali  Besar  Barat  No. 40,  Kel. Pekojan, Kec.
  Tambora, Jakarta Barat (Jakarta 11110)
·      Tahun dibangun                : 1920
·      Fungsi Awal                       : Kantor John Peet & Co.
·      Fungsi Sekarang                 : Kantor PT. Toshiba
·      Arsitektur                           : Bergaya Amsterdam School dan Art Deco
·      Arsitek                                : F.J.L. Ghijsels
·      Kondisi bangunan              : Cukup baik
·      Klasifikasi Pemugaran        : Golongan A


Jumat, 22 Maret 2013

Kali Besar


De Groote Rivier

Secara harfiah artinya kali yang besar. Kali ini mengalir lurus dari selatan ke utara, diapit oleh Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Kali Besar Timur. Bagian paling utara berbatasan dengan Jembatan Kota Intan (hoendenpassarbrug). Sebelah selatan berujung pada hospitaalsbrug, jembatan yang menghubungkan Jalan Bank dan Jalan Telepon Kota atau Jalan Roa Malaka. Disebut hospitaalbrug, karena di situ pernah didirikan rumah sakit dalam benteng (yang kini menjadi gedung eks Bank Dagang Negara).

Dahulu Kali Besar, meliputi seluruh muara Ciliwung mulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa, hingga Weltreveden dan merupakan pusat pemerintahan Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1631, aliran Ciliwung yang semula berkelok-kelok, diluruskan membentuk sebuah kanal besar yang membagi Batavia menjadi dua bagian. Kanal ini lebarnya sekitar 85 meter, lebar penampangnya tidak simetris, karena sisi barat lebih muda usianya dari sisi timur.

Sampai tahun 1750, tepi-tepi Kali Besar tidak pernah tertutup, baik oleh kayu maupun batu. Sepanjang tepi terdapat bangsal dan dermaga untuk berlabuh. Juga diramikan oleh pasar, antara lain pasar sayuran, pasar beras, pasar ayam, pasar daging, pasar ikan dan pasar bambu. Bagian barat Kali Besar berdiam orang-orang Cina, Portugis dan orang rendahan. Sejak dibangunnya trem tahun 1875, kawasan ini menjadi sangat sibuk, apalagi pada tahun 1887 muncul pul trem listrik dan tahun 1907 trem ini menyambung relnya di Kali Besar Timur, namun tahun 1934 trem ke wilayah ini dihapus dan mulai tahun 1910 banyak bangunan tua dibongkar dan diganti.



Sumber :

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA TUA (Zona 2; Golongan II)


I.     ZONA 2 KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA TUA

Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kota Tua, dengan luas area sekitar 87 Ha (lihat gambar 1), merupakan bagian dari zona inti Kawasan Cagar Budaya Kota Tua, yang batas-batasnya adalah Sungai Krukut di sisi barat, Sungai Ciliwung di sisi timur, jalan tol dan jalan kereta api di sisi utara, serta Jalan Jembatan Batu dan Jalan Asemka di sisi selatan. Kawasan cagar budaya ini bukan hanya memiliki bangunan dengan nilai sejarah dan arsitektur yang tinggi, tetapi juga memiliki arsitektur ruang kota yang perlu dijaga kelestariannya.


II.     LINGKUNGAN GOLONGAN CAGAR BUDAYA DI ZONA 2 KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA TUA

Berdasarkan kepada beberapa kriteria yang ada di Peraturan Daerah No. 5 tahun 1999, Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kota Tua, dibagi menjadi 3 (tiga) golongan kawasan cagar budaya yaitu (lihat gambar 2):
-          Lingkungan Golongan I, di sekitar Taman Fatahillah dan Jalan Cengkeh;
-          Lingkungan Golongan II, di sepanjang Kali Besar, Jalan Pintu Besar Utara dan sekitar Taman Beos;
-          Lingkungan Golongan III, di luar Golongan I dan II yaitu area yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung di sisi timur dan area di dekat Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat.



III.     LINGKUNGAN CAGAR BUDAYA GOLONGAN II

Lingkungan cagar budaya Golongan II (lihat gambar 3) berada di luar lingkungan I. Dahulu, Kali Besar merupakan aksis yang merepresentasikan kekuasaan ekonomi, sosial dan budaya kolonialisme (jalur air). Kawasan sepanjang Kali Besar melebar ke timur sepanjang Kali Besar Timur 3 di selatan ke arah barat Jl. Malaka, sekitar sebelah selatan Balai Kota termasuk BNI Kota, sekitar Taman Beos, termasuk dalam lingkungan ini. Pada lingkungan ini terdapat konsentrasi bangunan-bangunan cagar budaya golongan B dan beberapa bangunan cagar budaya golongan A, Toko Merah, Gedung BI, dan Gedung Bank Mandiri.


Dalam lingkungan ini, seharusnya diambil kebijakan agar bangunan-bangunan cagar budaya di dalamnya dapat diselamatkan dan dilestarikan.
1.      Penataan lingkungan dilakukan dengan tetap mempertahankan keaslian unsur-unsur lingkungan serta arsitektur bangunan yang menjadi ciri khas kawasan, yaitu mempertahankan karakter ruang-ruang kota dan melestarikan bangunan-bangunan cagar budaya yang ada.
2.      Ruang kota di sepanjang Kali Besar, di sepanjang Jalan Pintu Besar Utara dan di sekitar lapangan Stasiun Beos dimanfaatkan untuk tempat kegiatan umum dan komersial terbatas.
3.      Pada bangunan cagar budaya dimungkinkan dilakukan adaptasi terhadap fungsi-fungsi baru sesuai dengan rencana kota, yaitu memanfaatkan bangunan-bangunan untuk kegiatan komersial, hiburan, hunian terbatas/ hotel, dan apartemen.
4.      Penataan papan nama dan papan iklan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam pedoman papan nama dan papan iklan dalam pedoman (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan permuseuman,”Guidelines Kota Tua”, 2007).

Sumber :
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN, “GUIDELINES KOTA TUA”, 2007



KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA TUA



I.    PENDAHULUAN

Arsitektur masa lalu yang terdiri dari bangunan-bangunan dan kawasan-kawasan cagar budaya berperan dalam merangkai dan menghubungkan sejarah kota Jakarta dari masa lalu ke masa sekarang dan masa yang akan datang. Arsitektur masa lalu ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rencana kota. Bangunan-bangunan cagar budaya dan juga kawasan-kawasan cagar budaya tersebar disegala penjuru kota, dengan konsentrasi memanjang dari bagian Utara sampai ke Selatan kota.

Sampai dengan tahun 2007, di Jakarta terdapat 4 (empat) kawasan cagar budaya, yaitu:
-       Kota Tua (SK No.D.IV.6097/d/33/1975)
 (SK No.34 tahun 2005)
-       Menteng (SK No.D.IV.6098/d/33/1975)
-       Kebayoran Baru (SK No.D.IV.6099/d/33/1975)
-       Situ Babakan-menggantikan Condet (SK No.D.115/e/3/1974)

Di dalam kawasan-kawasan ini terdapat arsitektur kota dan bangunan-bangunan yang harus dilestarikan. Selain itu juga banyak terdapat bangunan-bangunan pelestarian yang berada diluar kawasan-kawasan ini. Masing-masing kawasan cagar budaya memiliki panduan khusus yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter dari masing-masing kawasan.

II.   ATURAN DALAM UPAYA PELESTARIAN

Upaya pelestarian di Jakarta didasarkan kepada UU No. 5 tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan Daerah No. 9 tahun 1999, yang menggolongkan kawasan cagar budaya menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: kawasan cagar budaya golongan I sampai dengan III, dan menggolongkan bangunan cagar budaya menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: bangunan cagar budaya golongan A, B, dan C.

III. PEMANFAATAN KAWASAN DAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Pemanfaatan kawasan dan bangunan cagar budaya disesuaikan dengan wujud fisiknya dan perencanaan kota untuk daerah dimana kawasan dan bangunan cagar budaya berada, yang ditentukan oleh Pemda DKI Jakarta. Pemanfaatan barunya disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan akan datang selama cocok dengan wujud fisiknya.

IV. KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA TUA


Berdasarkan Rencana Induk Kota Tua Jakarta (DTK, 2007), ditengah-tengah Kawasan Cagar Budaya Kota Tua terdapat zona inti, yaitu area yang memiliki nilai sejarah yang lebih bernilai, yang dahulunya sebagian besar adalah kota di dalam dinding. Kawasan Cagar Budaya Kota Tua dibagi menjadi 5 (lima) zona, yaitu: kawasan Sunda Kelapa, kawasan Fatahillah, kawasan Pecinan, kawasan Pekojan, dan kawasan Peremajaan (lihat gambar 2).


Sumber :
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS KEBUDAYAAN DAN PERMUSEUMAN, “GUIDELINES KOTA TUA”, 2007


CAGAR BUDAYA



Definisi

Definisi benda cagar budaya menurut Undang-undang tentang Cagar Budaya ada 2 (dua), yaitu:
1.    Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. 
2.    Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Kriteria, Tolok Ukur, dan Penggolongan Benda Cagar Budaya

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
1.    Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2.    Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
3.    Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
4.    Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
5.    Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 (tiga) golongan, yakni:
1.    Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
2.    Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 (tiga) kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
3.    Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 (tiga) kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.

Bangunan cagar budaya sendiri dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.    Bangunan cagar budaya Golongan A: bangunan yang memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian.
2.    Bangunan cagar budaya Golongan B: bangunan yang memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark, arsitektur, dan umur.
3.    Bangunan cagar budaya Golongan C: bangunan yang memenuhi kriteria umur dan arsitektur.

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya

Berdasarkan Perda No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Cagar Budaya, bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun sejarahnya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
1.    Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A
2.    Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B
3.    Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C

Golongan A
1.    Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
2.    Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
3.    Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama / sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada
4.    Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian / perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya
5.    Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama

Golongan B
1.    Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja, dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
2.    Pemeliharan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap, dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting.
3.    Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
4.    Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama

Golongan C
1.    Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
2.    Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan
3.    Penambahan Bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
4.    Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana Kota

Sumber :
http://winnerfirmansyah.wordpress.com/2011/05/05/bangunan-cagar-budaya/